Nyi Raspi si Ronggeng Gunung dari Banjarsari |
Sanggar ronggeng gunung didirikan oleh Pemprov Jabar bukan tanpa
alasan, tetapi tentunya berkat ketelatenan, keseriusan serta dedikasi
Nyi Raspi, selaku pengelola sanggar ronggeng gunung untuk pelestarian
kesenian itu sendiri.
Namun sayangnya, hingga kini perhatian Pemkab Ciamis kepada
pelestarian ronggeng gunung masih belum maksimal, padahal kesenian itu
selalu membawa nama Kab Ciamis dalam setiap pementasan di daerah mana
pun.
Terakhir, sanggar tersebut diundang untuk mengisi acara di Jakarta
pada tanggal 23 Juni 2010 pada acara “ngenteng kalembur“. Dalam acara
tersebut, budaya dari berbagai daerah di Indonesia ditampilkan,
“Saya sempat iri ketika bercerita dengan para seniman dari daerah
lain terkait perhatian pemerintah di daerahnya yang cukup bagus terhadap
pelestarian seni budaya, ko beda ya dengan saya,” ungkapnya sambil
tersenyum.
Kini, pembangunan sanggar belum sepenuhnya selesai, ia ingin memagar
area di sekitar sanggar tersebut. Kemudian ia pun ingin memperbaiki
akses jalan menuju sanggar sekitar 200 meter yang sekarang rusak.
Selain itu, beberapa peralatan musik dan busana, juga pernak pernik sanggar masih serba kekurangan.
Ditemui di kediamannya yang sederhana, di Desa Ciulu Kecamatan
Banjarsari, Nyi Raspi (begitu akrab disapa), menceritakan, dirinya telah
melakoni sebagai peronggeng sejak tahun 1972.
Pada saat itu, ketika masih duduk di SD, salah seorang guru
mengajarkan kesenian ronggeng gunung kepadanya. Karena mempunyai darah
keturunan peronggeng, Nyi Raspi dengan mudah dapat mempelajari seni
ronggeng gunung itu.
Alhasil tak kurang dari 10 hari dia telah menguasai kawih serta
tarian ronggeng gunung. Memang, awalnya ia tidak menduga akan seperti
sekarang, dulunya ia hanya mengisi hiburan dari kampung ke kampung saja,
pada acara hajatan tertentu. Namun karena kecintaannya terhadap seni
ronggeng gunung, ternyata tuhan berkehendak lain.
Menurut sumber sejarah yang Nyi Raspi dengar, kesenian ronggeng
gunung berkaitan erat dengan kisah Dewi Samboja. Dewi Samboja ini adalah
puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang.
Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh
oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Ketika itu,
Dewi Samboja sangat bersedih hatinya, karena suami yang dicintainya
telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang
belakang diketahui telah membunuh suaminya.
Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas
kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan
wangsit kepada Dewi Samboja.
Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian
Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar
sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan,
berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja kemudian mulai belajar menari
ronggeng dan seni bela diri.
Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun
terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas
kematian suaminya. Diceritakan, Dewi Samboja sempat menari bersama
Kalasamudra. Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun
tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja
dapat membunuhnya.
Bila saja Pemkab Ciamis memperhatikan perkembangan kesenian Ronggeng
Gunung secara serius, tak mustahil suatu saat nanti seni Ronggeng Gunung
akan mendapat penghargaan dari pemerintah pusat.
Seperti Tari Topeng Indramayu, senimannya mendapat penghargaan dari
Pemerintah Pusat yang diberikan kepada seniman Tari Topeng Indramayu
alm. Mimi Rasinah. (Amlus/dk)
Sumber: Harapan Rakyat