Pemkab Ciamis Kurang Perhatian Pada Kesenian Ronggeng Gunung

Nyi Raspi si Ronggeng Gunung dari Banjarsari
Ronggeng Gunung Banjarsari Ciamis telah lama ditetapkan sebagai aset budaya oleh Provinsi Jawa Barat, terbukti pada akhir tahun 2009, Provinsi Jawa Barat memberikan bantuan senilai Rp. 200 juta untuk pendirian sanggar ronggeng gunung, guna melestarikan budaya seni ronggeng tertua di Indonesia itu.
Sanggar ronggeng gunung didirikan oleh Pemprov Jabar bukan tanpa alasan, tetapi tentunya berkat ketelatenan, keseriusan serta dedikasi Nyi Raspi, selaku pengelola sanggar ronggeng gunung untuk pelestarian kesenian itu sendiri.
Namun sayangnya, hingga kini perhatian Pemkab Ciamis kepada pelestarian ronggeng gunung masih belum maksimal, padahal kesenian itu selalu membawa nama Kab Ciamis dalam setiap pementasan di daerah mana pun.
Terakhir, sanggar tersebut diundang untuk mengisi acara di Jakarta pada tanggal 23 Juni 2010 pada acara “ngenteng kalembur“. Dalam acara tersebut, budaya dari berbagai daerah di Indonesia ditampilkan,
“Saya sempat iri ketika bercerita dengan para seniman dari daerah lain terkait perhatian pemerintah di daerahnya yang cukup bagus terhadap pelestarian seni budaya, ko beda ya dengan saya,” ungkapnya sambil tersenyum.
Kini, pembangunan sanggar belum sepenuhnya selesai, ia ingin memagar area di sekitar sanggar tersebut. Kemudian ia pun ingin memperbaiki akses jalan menuju sanggar sekitar 200 meter yang sekarang rusak.
Selain itu, beberapa peralatan musik dan busana, juga pernak pernik sanggar masih serba kekurangan.
Ditemui di kediamannya yang sederhana, di Desa Ciulu Kecamatan Banjarsari, Nyi Raspi (begitu akrab disapa), menceritakan, dirinya telah melakoni sebagai peronggeng sejak tahun 1972.
Pada saat itu, ketika masih duduk di SD, salah seorang guru mengajarkan kesenian ronggeng gunung kepadanya. Karena mempunyai darah keturunan peronggeng, Nyi Raspi dengan mudah dapat mempelajari seni ronggeng gunung itu.
Alhasil tak kurang dari 10 hari dia telah menguasai kawih serta tarian ronggeng gunung. Memang, awalnya ia tidak menduga akan seperti sekarang, dulunya ia hanya mengisi hiburan dari kampung ke kampung saja, pada acara hajatan tertentu. Namun karena kecintaannya terhadap seni ronggeng gunung, ternyata tuhan berkehendak lain.
Menurut sumber sejarah yang Nyi Raspi dengar, kesenian ronggeng gunung berkaitan erat dengan kisah Dewi Samboja. Dewi Samboja ini adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang.
Konon, suatu saat suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan). Ketika itu, Dewi Samboja sangat bersedih hatinya, karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan ia sangat marah kepada Kalasamudra yang belakang diketahui telah membunuh suaminya.
Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja.
Isi wangsit tersebut adalah bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang dan membunuh Kalasamudra, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng kembang. Dan, berdasar wangsit itulah, Dewi Samboja kemudian mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri.
Singkat cerita, pergelaran ronggeng di tempat Kalasamudra pun terjadi. Dan, ini berarti kesempatan bagi Dewi Samboja untuk membalas kematian suaminya. Diceritakan, Dewi Samboja sempat menari bersama Kalasamudra. Dewi Samboja mewujudkan niatnya, sehingga perkelahian pun tidak dapat dihindari. Perkelahian itu baru berakhir ketika Dewi Samboja dapat membunuhnya.
Bila saja Pemkab Ciamis memperhatikan perkembangan kesenian Ronggeng Gunung secara serius, tak mustahil suatu saat nanti seni Ronggeng Gunung akan mendapat penghargaan dari pemerintah pusat.
Seperti Tari Topeng Indramayu, senimannya mendapat penghargaan dari Pemerintah Pusat yang diberikan kepada seniman Tari Topeng Indramayu alm. Mimi Rasinah. (Amlus/dk)

Sumber: Harapan Rakyat